Selasa, 25 September 2012

JURNAL : Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah: Potret Keengganan Pemerintah Pusat Melepaskan Kontrol atas Keuangan Daerah

ABSTRAKSI
Lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 tahun 2005 tentang pengelolaan daerah dinilai terlalu interventif ke dalam urusan-urusan yang seharusnya menjadi kewenangan pemerintah daerah (pemda). Pasal demi pasal dalam PP No.58/2005 ini mengatur secara detail mulai dari penganggaran, menentukan pos-pos yang di utamakan, hingga pada pengelolaan keuangan di daerah. PP ini dalam tingkatannya sebagai sebuah peraturan yang di keluarkan pemerintah pusat mengenai pengelolaan keuangan daerah, yang berarti menjadi pedoman umum bagi pemda dalam hal pengelolaan keuangan di daerahnya masing-masing merupakan sebuah hal yang wajar dan bahkan boleh di bilang sangat membantu pemda. Akan tetapi ketika aturan-aturan di dalamnya telah membatasi inovasi dan kreasi pemda, bahkan lebih jauh telah memotong hak-hak pemda maka peraturan itu telah keluar dari rel desentralisasi ataupun otonomi daerah.
Desentralisasi melalui kerangka otonomi daerah adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya, sebesar-besarnya untuk mengelola dan mengatur daerah dan pembangunannya sesuai dengan potensi dan keraifan lokal yang ada di daerah masing-masing. Tak terkecuali dalam hal keuangan, pemda memiliki hak dan kewajiban berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, untuk mengatur daerahnya.
Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Upaya membangun desentralisasi yang baik dan berorientasi good governance, di barengi pula oleh pemotongan dan pengekangan hak-hak pemda. Ada kesan yang menandakan bahwa pemerintah pusat enggan untuk melepaskan control dan intrevensi-nya, terutama dalam hal keuangan daerah. Kondisi ini sangat terkait dengan paradigma yang memaknai otonomi daerah, hanya dalam hal keuangan, atau pa yang popular di istilahkan otonomi means automoney.
Lebih jauh tulisan ini mencoba mencari fakta lain di balik PP No.58/2008. Bisa di bilang menelusuri fakta di balik fakta, tidak hanya di balik realita. Kepentingan Partai Politik dan Korporasi-korporasi swasta nasional tersembul di balik PP ini. Meski dominansi kepentingan elit pemerintah jauh melebihi kepentingan dari pihak-pihak swasta. Mengapa demkian? Jawabannya adalah karena korporasi-korporasi swasta nasional yang memiliki kepentingan di daerah memiliki pilhan yang lebih baik masuk ke daerah melalui cabang atau perusahaan yang baru. Menekan angka pajak dan tetap berkuasa di daerah. Keuntungan yang bisa dibilang berlipat.
Berbeda dengan elit pemrintah non-korporasi, pilihannya hanya tetap memegang kendali dan pengawasan atas keuangan di daerah. Itu satu-satunya cara untuk tetap meraup keuntungan di dalam proyek-proyek pembangunan di daerah. Terutama pada proyek-proyek infrastruktur yang boleh di bilang mega-proyek atau proyek yang bernilai tinggi, baik itu nilai dalam arti price ataupun dalam arti values.   


A.    Pengantar
Hingga saat ini persoalan keuangan adalah salah satu dari sekian permasalahan dalam otonomi daerah yang tak kunjung usai. Menurut Sutoro Eko, hal ini disebabkan oleh kesalahan dalam memaknai desentralisasi atau otonomi daerah. otonomi daerah sering dipahami sebagai keleluasaan daerah mengelola keuangannya sendiri, yang didasarkan pada prinsip perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Uang adalah segala-galanya bagi otonomi daerah. Uang untuk membiayai otonomi, dan kinerja otonomi harus menghasilkan uang banyak. Ada banyak orang bilang bahwa “otonomi berarti otomoni” (autonomy means automoney). (Sutoro eko,2002:6)
Berbagai jalur tindakan pemerintah pusat, baik itu melalui kebijakan resmi ataupun kebijakan tak resmi*, begitu jelas memperlihatkan keengganan untuk melepaskan kontrol atas keuangan di daerah. Melaui kebijakan (undang-undang) misalnya dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah  daerah ataupun dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah.
Meskipun akhir-akhir ini, Pemerintah Pusat melalui kebijakan resminya relative lebih menunjukkan itikad baik dalam hal membagi kewenangan dengan daerah (pemda), termasuk dalam hal keuangan, akan tetapi pada jalur-jalur non-kebijakan resmi, pemerintah pusat justru meningkatkan kontrolnya terhadap keuangan daerah.
Jalur yang saat ini paling banyak digunakan adalah melalui mekanisme atau struktur partai dan melalui koorporasi-  korporasi ekonomi dan bisnis. Melaului struktur kepartaian pemerintah pusat mengontrol bahkan terkadang samapai pada mengintervensi dengan cara memberlakukan disiplin dan konsensus internal partainya. Konsensus paling sering dilakukan pada saat kader-kader partainya di daerah sowan ke Dewan Pimpinan Pusat untuk meminta restu, dukungan dan legalisasi pencalonan sebagai kepala daerah.
Sedangkan melalui jalur koorporasi, pemerintah pusat mengutus koorporasi yang menjadi rekanannya ke daerah untuk ikut dalam tender ataupun lelang dalam proyek-proyek yang ada di daerah. Tentu dengan surat sakti yang dibawa dari pusat, koorporasi-koorporasi itu memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadi pemenang lelang ataupun tender.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ada perubahan model intervensi ataupun controlling pemerintahan pusat dalam hal keuangan daerah, dari jalur kebijakan (konstitusi) yang biasa di istilahkan senralisasi beralih ke jalur non-kebijakan yang dalam keperluan ini akan diistilahkan swastanisasi. Peruabahan itulah yang akan dikupas dalam tulisan ini. Dengan contoh kasus Peraturan Pemerintah No.58 Tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah, perubahan model intervensi dan control itu akan di bahas dengan singkat, jelas dan padat. Tentunya dengan tambahan beberapa data dan fakta yang autentik. Tulisan ini akan memberikan wacana baru dalam debat desentralisasi yang tengah kita gulirkan.
B.    Budgeting Reform dalam PP No.58/2005?
Mengenai keuangan daerah sesungguhnya telah begitu jelas di bahas dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Dalam UU ini, sudah begitu lengkap mengenai perimbangan keuangan pusat dan daerah. Bahkan menurut beberapa kalangan, UU ini terlampu jauh membahas mengenai keuangan daerah dan dapat mengakibatkan terbatasnya kesempatan daerah untuk berinovasi dan kreasi pemerintah daerah dalam mengelola dan mengatur keuangannya.
Aspek yang paling utama dalam keuangan daerah adalah persoalan penganggaran (budgeting). Harapan yang ingin di capai melalui desentralisasi keuangan daerah adalah dilaksanakannya reformasi penganggaran (budgeting reform). Menurut Mardiasmo, budgeting reform adalah perubahan dari traditional budget ke performance budget. Traditional budget di dominasi penyusunan anggaran yang bersifat line-item dan incrementalism, yaitu proses penyusunan anggaran yang hanya mendasarkan pada besarnya realisasi anggaran tahun sebelumnya, konsekuensinya tidak ada perubahan mendasar atas anggaran baru. Dengan basis seperti ini, APBD masih terlalu berat menahan arahan, batasan, serta orientasi sbordinasi kepentingan pemerintah pusat. Hal tersebut menunjukkan terlalu dominannya peranan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah.(Mardiasmo, 2004:104)
Sedangkan performance budget pada dasarnya adalah system penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja tersebut harus mencerminkan efisienasi dan efektifitas pelayanan publik, yang berarti harus berorientasi pada kepentingan publik di daerah. (Ibid,105)
Inilah paradoks yang tercermin dalam PP No.58/2005. Pemerintah pusat melalui UU No.33/2004 memberikan keleluasaan daerah untuk mengelola keuangannya sendiri, mulai dari proses penganggaran, pelaksanaan hingga evaluasi. Akan tetapi dengan dikeluarkannya PP No.58/2005, keleluasaan itu hanya simbol belaka. Karena melaui PP itu, pemerintah masih sangat intervenif dan dominan peranannya dalam keuangan daerah. Ini terlihat dalam (PP No.58/2005) Pasal 26 Ayat 1 “Belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan” dan Pasal 26 Ayat 2 “Belanja penyelenggaraan urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan,kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial” serta Pasal 26 Ayat 3 “Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diwujudkan melalui prestasi kerjadalam pencapaian standar pelayanan minimal berdasarkan urusan wajib pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. (Draf PP.No.58/2005)
Dari Tiga Pasal ini cukuplah untuk mengatakan bahwa PP No.58/2005 ini mencoba untuk terus membayangi dan mengwasi keuangan daerah. Bahkan secara ekstrim dapat pula di katakan Pemerintah Pusat memotong semangat reformasi dan desentralisasi. Artinya pemerintah pusat melalui PP ini telah melangkah jauh dari kewenangan yang sewajarnya. Fungsi penganggaran keuangan daerah yang seharusnya menjadi awal kreasi dan inovasi pemerintah daerah di batasi dengan ketentuan-ketentuan yang mengakibatkan ketidak bebasan pemerintah daerah untuk menyusun anggaran untuk pos-pos yang ada dan sesuai dengan kebutuhan daerahnya.
Memang di dalam Pasal 26 Ayat 2 yang membahas prioritas-prioritas utama penganggaran itu tidak ada yang secara langsung menguntungkan ataupun merugikan salah satu pihak. Akan tetapi pasal ini telah melupakan bahwa antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya itu memiliki perbedaan-perbedaan. Abik itu secara fisik ataupun secara psikis. Inilah sebabnya mengapa PP ini di katakana memotong kreasi dan inovasi Pemerintah daerah
Padahal kalau mau jujur, sesungguhnya PP No.58/2005 kalau kita mengacu pada budgeting reform sama sekali tidak di butuhkan. Mengingat bahwa kedudukan sebuah Peraturan Pemerintah (PP) adalah sebuah Peraturan yang dibuat untuk menjadi petunjuk teknis atau petunjuk pelaksanaan sebuah bidang tertentu, maka sangatlah keluar dari cita-cita mencapai otonomi daerah yang berbasis kemandirian. 
Angan-angan terwujudnya Pemerintahan daerah yang otonom ataupun independen dalam mengelola dan mengarahkan pembangunan di daerahnya tidak akan pernah terwujud. Ini bukan asumsi yang tak bedata atau beralasan. Semangat Reinventing Government hanya akan terwujud dengan baik apabila di dukung oleh semua komponen di dalamnya. Tak terkeculai komponen keuangan ataupun penganggaran keuanagan.
  Kesepakatn yang di dapatkan di dalam reformasi dan konsolidasi demokrasi menyiratkan desentralisasi atau pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Daerah harus benar-benar memiliki Otonomi yang luas dan sebebas-bebasnya. Pemotongan asas desentralisasi melalui mekanisme konstitusi ini merugikan dan menggerogoti reformasi.
Dengan kenyataan ini, tidakkah desentralisasi hanya menjadi jargon politik pemerintah pusat untuk menenangkan gejolak di daerah? Atau ini sangat terkait dengan persoalan kepentingan pribadi dan golongan? Jawabannya adalah kedua-duanya benar. Desentralisasi dipotong di tengah jalan oleh pemerintah karena sejatinya pemerintah pusat tidak pernah mau melepaskan control terhadap daerah terutama dalam hal keuangan. Karena ada kerugian besar yang dialami pemerintah termasuk juga rekanan-rekanan pemerintah di pusat apabila daerah mendapatkan keleluasaannya dalam hal keuangan daerah.
C.    Terputusnya Akses di Daerah
Dalam persolan teknis, dengan lepasnya kontrol pemerintah pusat di daerah  maka ada banyak akses yang selama ini di miliki oleh pemerintah pusat yang akan hilang atau bahkan terputus. Pertama, ketika kendali keuangan telah hilang sepenuhnya dari tangan pemerintah pusat, maka semua proyek-proyek di daerah tidak akan dapat lagi di kontrol. Secara konkrit, pemerintah pusat tidak akan lagi memiliki kesempatan untuk menentukan proyek-proyek yang bernilai besar. Kedua, beralihnya proyek-proyek pembangunan (terutama infrastruktur) ke tangan perusahaan pengembang yang berada di daerah. Ini akan berdampak pada menurunnya penghasilan sampingan yang akan didapatkan oleh pemerintahan di pusat.
Sebagai contoh proyek infrastruktur yang bersal dari dana stimulus fiskal. BAPENAS mengharuskan untuk selaras dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2009 dan harus tetap menjadi proyek dari pemerintah pusat.  Terbukti dari pernyataan Ketua BAPPENAS, Paskah Suzeta yang menekankan agar seluruh proyek-proyek infrastruktur pemerintah pusat di daerah (yang di danai dari stimulus fiscal) tetap di lihat sebagai proyek pemerintah pusat. (www.inilah.com/bayu suta_tgl 28/03/2009)
Pernyataan ini mengindikasikan bahwa tidak sediktpun ada kerelaan pemerintah pusat (BAPPENAS) untuk melepaskan persoalan keuangan senilai Rp 12,2 triliun itu kepada daerah. Dengan alasan agar proyek infrastruktur itu secepatnya dapat di nikmati oleh masyarakat dan keterpaduan antara daerah, BAPPENAS menahan proyek itu di bawah kendali dan kontrolnya.
Proyek Infrastruktur senilai 12,2 Triliun itu adalah salah satu dari sekian fakta pendukung. Masih banyak bertaburan data dan fakta yang mengindikasikan keengganan lepas kontrol pusat atas keuangan di daerah.
D.    Di Balik Layar
 Dalam wacana publik selalu terdengar bahwa daerah belum siap dan belum mampu. Wacana ini tidak hanya diungkap oleh pemerintah pusat, tetapi juga masyarakat luas. Indikator yang digunakan untuk mengukur kesiapan dan kemampuan adalah uang dan juga kapasitas SDM. Wacana inilah yang terus direproduksi oleh pemerintah pusat sehingga ia mendapatkan pembenaran ketika mempertahankan kendali atas keuangan di daerah.
Uang memang sangat penting, tetapi secara empirik daerah tidak mungkin mampu membiayai sendiri rumah tangganya, jika kontribusi PAD tidak pernah mencapai 20%. Yang lebih penting sebenarnya adalah semangat kemandirian dan jaminan keleuasaan daerah yang memberikan ruang bagi daerah dan masyarakat mengembangkan potensi dan kreativitasnya.
Akan tetapi ini bukanlah hal yang mudah, pertarungan kepentingan sangat kental di semua sector yang memiliki potensi ekonomi yang tinggi. Sehingga pertarungan untuk memiliki dominasi yang tinggi di sector-sektor tersebut akan sangat sengit. Penguasaan dan kendali yang besar hanya dapat di miliki apabila memiliki kekuataan legal dan formal. Jalan inilah yang sangat menjadi prioritas oleh siapapun. Sehingga tidaklah mengherankan ketika berlangsung penyusunan legal-draft sebuah sector, maka berbondong-bondong kelompok kepentingan menitipkan kepentingannya kepada para perumus legal-draft itu.
Untuk kasus PP No.58/2005 ini, ada peta yang menarik utnuk diperhatikan. Terlebih karena ada perubahan model dalam defenisi Interesting, Values dan Policy procces dalam kebijakan. Dalam model yang umum, Interest (kepentingan)  secara langsung hanya di miliki oleh oknum-oknum pribadi dan swasta, dalam hal ini biasanya pengusaha-pengusaha yang memiliki cakupan bidang yang terkait dalam kebijakan itu. Akan tetapi dalam PP ini, model itu telah menjelma lebih berani. Dalam kepentingan ini, Pemerintah (dalam hal ini pemerintah pusat).
Begitu juga dengan Values-nya. Values (nilai) yang berada di balik kebijakan ini adalah desentralisasi setengah hati. Mengapa di istilahkan desentralisasi setengah hati? Sebagai tuntutan reformasi dan demokastisasi, pemerintah pusat berkewajiban melaksanakan desentralisasi melalui otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah.  Akan tetapi dalam persoalan keuangan, tepatnya perimbangan keuangan pemerintah pusat enggan untuk menyerahkan sepenuhnya kepada daerah. Disinilah yang dimaksudkan setengah hati.
Hasil dari semua itu menghasilakn sebuah Policy Procces yang dalam pengertaian penulis, sangat di paksakan. Terpaksa oleh tuntutan desentralisasi dan memaksa untuk membatsi ruang gerak dari UU No.33 Tahun 2004 tentan Perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Inilah letak yang menarik dari PP No.58/2005. Terciptanya skema, kalau boleh disebut skema konflik, yang terkutub hanya pada dua kutub. Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah. Berbeda dengan Kebijakan-kebijakan lain, biasanya Interests Group lebih dalam medan dialog dan perdebatan langsung terjun dengan kekuatannya.
E.    Kesimpulan
Munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 ini bisa dikatakan sarat dengan kepentingan pribadi dan golongan. Kemunculannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang berarti bisa dikatakan sebagai Petunjuk teknis ataupun Petunjuk teknis sangat bertentangan dengan semangat reinventing government. Melaului PP ini, pemerintah telah menciderai dan mereduksi semangat desentralisasi terutama dalam hal budgeting reform keuangan daerah.


Ini adalah persoalan paradigma dan keuntungan pribadi dan golongan. Begitulah kesimpulan dari tulisan ini. Disebut persoalan paradigma karena ini sangat terkait dengan apa yang sering di istilahkan otonomi means automoney. Desentralisasi atau otonomi daerah lebih di pahami sebagai berpindahnya hak pengelolaan keuangan semata.  Otonomi daerah tidak di pahami sebagai sebuah proses menciptakan pemerintahan yang baik dan pengelolaan daerah yang lebih baik. Otonomi daerah tidak dilihat sebagai upaya menjaring partisipasi masyarakat hingga pada basis lokal. Otonomi tidak di pahami sebagai proses demokratisasi yang lebih menyeluruh dan mengakar.
Terlebih karena kuatnya kepentingan pribadi dan golongan dalam merumuskan kebijakan. Keengganan pemerintah pusat (sebagai sebuah institusi) untuk melepaskan control atas keuangan daerah sesungguhnya bukan representasi dari dari Pemerintah secara menyeluruh. Ini merupakan buah dari kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan yang merangsek ke dalam pemerintahan dengan topeng politik. Partai Politik banyak di pakai sebagai saluran untuk menguasai sector-sektor kehidupan melalui perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan lainnya.
Bahkan lebih jauh dapat dikatakan bahwa system politik kita terlalu di dominasi oleh kaum pengusaha, kedekatan pemerintah dengan pengusaha (swasta) pasca reformasi sekalipun tidak banyak mengalami perubahan. Koorporatisme politik dan kebijakan di republik ini masih terlampau kuat dan mengakar. Sehingga dalam ranah-ranah publik yang vital sekalipun, penguasaan itu masih sangat terasa. Jauh dari harapan bahwa, sector yang sangat terkait dengan publik di kendalikan dan dikontrol Negara untuk kesejahteraan umum.   




Tidak ada komentar:

Posting Komentar