Introduction
Boleh
dikatakan hari ini merupakan Puncak kejayaan
demokrasi indonesia. Bagaimana tidak, pemilihan
umum selalu terjadi trjadi dengan gegap gempitanya, Bila ukuran di tenteukan
oleh proses pemilihan umum, maka tidak heran bila indonesia sedang mengalami
yang namanya eforia demokrasi. Ini bisa dilihat dari kontestasi pemiliahan
daerah tiap 5 tahunanya, yang mana wilayah indonesia terdapat 450 kabupaten/
kota dari 33 provinsi, sehingga bila dihitung secara keseluruhan ada 483
PILKADA dalam waktu 5 tahun tersebut. Dari segi sistemnya indonesia telah
berupaya untuk menyelenggarakan demokrasi dengan
sebaik-baiknya melalui UU pemilu
yang hampir tiap tahunya terdapat perubahan,dan berharap akan
tercipta pemerintahan yang kuat dan legitimate.
Salah satu elemen yang
terlibat langsung dalam demokratisasi di Indonesia ialah partai politik.
Melalui kontestasi pesta demokrasi inilah partai-partai politik bersaing untuk
mewujudkan cita citanya
dan eksistensinya dalam kancah perpolitikan Indonesia. Dalam arti sempit,
pemilihan umum merupakan proses konversi suara rakyat yang berhak menjadi kursi
penyelenggara negara lembaga legislatif ataupun eksekutif, baik tingkat
nasional maupun daerah. Dapat dikatakan bahwa pemilihan umum merupakan sarana
untuk tetap menyelenggarakan suatu sistem kenegaraan yang bersumber dari rakyat
suatu bangsa demi tercapainya tujuan
penyelenggaraan agenda negara. yang pada ahirnya akan terlahir penguasa pengusa
beru dalam dinamika politik indonesia, yang mana suplayernya adalah partai
politik. Disisi lain, pergantian rezim kekuasaan
di Indonesia mewarnai sejarah panjang bangsa ini dalam perjalanannya menuju
sebuah Negara yang
demokratis,Dari mulai zaman
penajajahan, orde lama, orde baru hingga sampai pada masa reformasi saat ini.
Sebuah rezim yang dipimpin oleh seorang yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda
ikut mengisi perjalanan bangsa ini.
Patologi Sistem
Pemilu dan Partai
Sistem
politik Indonesia telah menempatkan partai politik sebagai pilar utama
penyangga demokrasi. Yang mana seharusnya pilar penyangga tersebut merupakan
pilar yang kuat sehingga demokrasi berdiri tanpa cacat. Namun yang terjadi
sekarang adalah pilar tersebut beradu kuat dengan tiang penyangga yang lain
untuk menunjukkan siapa yang paling kuat. Sehingga rentan menimbulkan konflik
politik antar masyarakat. Proses pemilu
sebagai buah dari sistem kepartaian pun tak luput dari intrik dan konflik.
Kekuatan-kekuatan politik saling bermunculan dengan afiliasi dan motivasi
ideologi yang berbeda-beda serta menganggap dirinya kuat dan sanggup mematahkan
usaha-usaha kelompok yang kontra dengannya. Susasana mencekam pasti mengiringi
tiap periode pemilu di Negara ini. Arogansi kekuatan politik yang ada sangat
sangat kental dalam tiap-tiap proses pemilu dan jalannya pemerintahan
indonesia. Sehingga banyak pakar yang berpendapat bahwa sistem pemilu maupun
sistem kepartaian di Indonesia belum menemukan bentuk ideal. Dan demokrasi saat
ini hanya dijadikan alat prosedural demokrasi dan alat legitimasi pemerintah
saja.
Sebagai
ilustrasi kekuatan politik, dicontohkan pada masa rezim orde baru, yakni
berkuasanya Soeharto dengan Golkar-nya sebagai bentuk superpower Negara dalam bidang politik. Pada zaman orde baru
pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar.
Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang
menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus
menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu. Sungguh kekuatan
politik yang sangat luar biasa pada saat itu.
Perubahan sistem pemilu dan sistem kepartaian juga mewarnai proses
demokrasi di Indonesia, sehingga menimbulkan pemetaan kekuatan politik yang
selalu berubah-ubah. Pada saat ini, kekuatan politik yang sedang berkuasa
adalah Partai Demokrat beserta koalisinya, namun adapula beberapa partai yang
memposisikan dirinya sebagai oposisi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP) misalnya. Dalam sebuah pemerintahan Negara yang menganut sistem
demokrasi, tentu kompetisi antar partai politik sebagai kekuatan politik resmi
sudah menjadi hal biasa. Saling bersaing secara mutu, program, ideologi, finansial,
kekompakan dan sebagainya. Hal itu wajar, karena dalam demokrasi dituntut ada
rasa kompetitif antara kekuatan politik satu dengan yang lainnya. demokrasi
pasti ada kekuatan politik. Seperti halnya persaingan antara kekuatan politik
yang sedang berkuasa dan kekuatan politik diluar sistem pemerintahan atau
seringkali disebut partai oposisi. Begitulah gambaran nyata tentang kekuatan
politik.
Salah
satu area of concern di bidang pemerintahan
suatu Negara adalah terletak pada sistem kepartaian. Karena partai politik
melalui sarana pemilihan umum di negara (Indonesia) adalah pemasok utama
legislator atau wakil rakyat. Dalam pemilihan umum tentu tidak terlepas adanya
sistem kepartaian yang dianut oleh suatu Negara demokratis. Lebih fokus tulisan
ini akan mencoba menguraikan persaingan antar kekuatan politik dalam sistem
kepartaian di Indonesia. Namun demikian, perkembangan persaingan antar kekuatan
politik di Indonesia memiliki perbedaan dengan persaingan antar kekuatan
politik dinegara lain. Sistem multipartai di Indonesia pada realitasnya
memiliki variasi jumlah partai dan karakteristik dari demokrasi macam apa yang
diterapkan dalam sistem politiknya. Dari variasi jumlah partai tersebut,
tercipta tembok-tembok pemisah antara kekuatan yang sedang berkuasa dan
kekuatan oposisi sebagai “lawan” dari partai penguasa tersebut.
Dalam
sistem multipartai atau banyak partai di Indonesia, secara umum ada pemilahan
jenis partai politik yang ada dalam peta politik nasional, yakni ada yang
berkuasa dan ada yang menjadi oposisi. Partai yang berkuasa adalah kekuatan
politik yang memenagkan pemilu dan sekarang yang menjadi pemangku jabatan
ekskutif dan menguasai sebagian besar kursi parlemen. Sedangkan partai oposisi
adalah mereka yang berada diluar sistem pemerintahan, dan menjadi pesaing dari
kekuatan politik yang sedang berkuasa. Dua kutub kekuatan besar ini kan selalu
ada seiring dengan jalannya pemerintahan. Di Indonesia, posisi oposisi tidak populer
dimata masyarakat. Karena perilaku partai politik di Indonesia cenderung
bekerjasama sehingga saling memberikan insentif kepada masing-masing partai.
Meski begitu, ada partai yang keukeuh yang
memilih untuk menjadi oposisi, yakni PDIP. PDIP memposisikan dirinya sebagai
Partai oposisi di Indonesia
Di
Indonesia kompetisi dan perilaku antar kekuatan politik (Parpol) menarik untuk
dicermati. Karena situasi politik di Negara kita sangat mudah berubah, hal itu
terjadi karena jumlah partai dan ideologi yang sangat banyak. Sehingga sangat
sulit untuk bisa memprediksi apa yang akan terjadi dikemudian hari dalam
perpolitikan Negara kita. Terkait tentang oposisi, maka tulisan ini akan
membahas tentang PDIP sebagai partai oposisi di Indonesia dan konsistensi PDIP
sebagai partai oposisi. Bagaimana langkah-langkah PDIP dan apa yang dilakukan
PDIP selama menjadi partai oposisi akan dianalisis dalam tulisan ini
Dilema PDIP Dalam Pemerintahan Di Indonesia
Tanda-tanda
musnahnya kekuatan oposisi dalam pemerintahan baru mendatang makin terang.
Kemenangan Aburizal Bakrie dalam Musyawarah Nasional VIII Partai Golkar menjadikan
merapatnya Golkar ke kubu Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono. Selain memiliki
kedekatan dengan SBY, Aburizal Bakrie dalam sambutannya setelah terpilih
menjadi ketua umum Partai Golkar menyatakan mempersilakan kader Golkar
bergabung dengan kabinet mendatang jika diminta oleh presiden terpilih.Dan hal
itu terjadi pada era kabinet jilid II rezim SBY.
Hilangnya
Golkar sebagai partai oposisi menjadikan PDIP adalah satu-satunya partai besar
yang sekarang berada dalam kubu oposisi. Namun terpilihnya Taufik Kiemas
sebagai ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan dukungan politik
Partai Demokrat dan koalisinya di Senayan membuat PDIP dinilai tidak tegas
sebagai oposisi. Bergabungnya Golkar dengan rezim berkuasa akan menutup pintu
bagi hadirnya oposisi yang kuat dalam pemerintahan lima tahun ke depan. Bahaya
akan matinya oposisi adalah ancaman bagi pengawasan dan keseimbangan (check and balances) yang lazimnya ada
dalam setiap pemerintahan demokratis. Tiadanya kontrol eksternal itu, menurut
ilmuwan politik Robert A Dahl, akan membuka jalan bagi lahirnya pemerintahan
yang tiranik.
Kontrol
politik merupakan salah satu fungsi utama yang dimiliki oposisi di dalam ranah
politik. Banyak pihak yang setuju dan mengutarakan bahwa oposisi adalah hal
yang sangat penting dalam berpolitik. Kekuatan politik yang dimiliki oleh
partai oposisi ini dimiliki di luar lembaga eksekutif, legislatif dan
yudikatif, karen secara umum, peran oposisi adalah sebagai kontrol, dengan
melakukan kontrol yang luas luas apabila ketiga lembaga lainnya melakukan penyelewengan
dalam kewajibannya. Hal diatas adalah sebuah pernyataan yang sebetulnya masih
perlu dipertanggungjawabkan lebih jauh. Di dalam memaknai sebuah oposisi,
secara sekilas diperlukan batasan. Oposisi seperti apa yang masih bisa
dikategorikan untuk memegang peranan tersebut? Hal ini seolah menjadi dilematis
karena oposisi diharapkan bisa menjadi pihak yang dinggap tidak memihak, namun
di sisi lain mereka merupakan aktor utama yang paling mempunyai akses utama
sebagai penekan pemerintah. Dengan kata lain, mereka adalah pihak yang sangat
berpotensi untuk memeiliki andil besar di dalam pergeseran peta kekuatan
politik di sebuah negara, dalam hal ini Indonesia. Oposisi yang bebas dapat
menjadi katalisator demokrasi di sebuah negara, di sisi lain juga ‘bebas’ untuk
memilih kecenderungan mereka untuk menentukan ke arah mana aktifitas politik mereka
akan ditampilkan.
Namun
sesungguhnya Oposisi bukan budaya politik di
Indonesia. Karena negara ini bukanlah
penganut sistem parlementer sepenuhnya tetapi negara dengan sistem semi
presidensial. Yang lebih berorientasi dengan kestabilan demokrasi di negaranya.
Maka dari itu, aktivitas partai politik cenderung berkoalisi dengan kekuatan
partai yang lebih kuat sehingga posisi mereka dalam sistem politik negara akan
cenderung aman. Berbicara tentang koalisi pemerintahan di
Indonesia,sesungguhnya pola ini bukan hal yang baru di negeri ini. Pada awal
kemerdekaan, ketika pemerintahan menganut sistem parlementer, kabinet yang
terbentuk merupakan hasil koalisi antara partai-partai di parlemen saat itu.
Dalam
ilmu politik, secara garis besar koalisi dikelompokkan atas dua. Pertama, policy blind coalition, yaitu koalisi
yang tidak didasarkan atas pertimbangan kebijakan, tetapi untuk memaksimalkan
kekuasaan (office seeking). Kedua, policy-based coalition, yaitu koalisi
berdasarkan pada preferensi tujuan kebijakan yang hendak direalisasi (policy seeking). Kecenderungan yang
terjadi dalam era Reformasi ini, format koalisi yang dibangun adalah bentuk
yang pertama. Koalisi tidak berdasarkan pertimbangan kebijakan, melainkan hanya
untuk meraih kekuasaan. Koalisi yang dibentuk lebih didasarkan pada pragmatisme
politik. Memang ada sisi positif dalam koalisi yang selama ini dibentuk, yakni
runtuhnya ”sekat-sekat ideologis”. Koalisi seperti ini merupakan bentuk koalisi
pragmatis dan jangka pendek. Mereka bergabung hanya untuk kepentingan kekuasaan
ansich. Dengan fondasi seperti ini,
tidak aneh bila di antara pendukung koalisi itu sendiri terjadi perbedaan
pandangan dalam mengusung suatu kebijakan.
Kondisi diatas menciptakan keadaan dilematis bagi PDIP.
Karena dari tahun ke tahun partai ini selalu meneriakkan bahwa PDIP adalah
partai oposisi. Yang mana partai oposisi adalah partai yang kontra dengan
pemerintah atau lawan dari kekuatan politik yang sedang berkuasa. Hal tersebut ditambah dengan besarnya koalisi
yang dibentuk partai pemenang. Kekuatan politik yang
berkuasa sangat kuat sedangakan PDIP cenderung berjalan sendiri sebagai
oposisi.
Melihat ke-Istiqomahan PDIP Sebagai Partai Oposisi
Rusadi
Kantaprawira mengemukakan bahwa aktivitas yang dilakukan partai politik pada
umumnya mengandung tujuan antara lain: Berpartisipasi dalam sektor pemerintahan,
berusaha melakukan pengawasan, dan berperan untuk dapat memadu
tuntutan-tuntutan yang masih mentah (Hestu C. Handoyo:2003). Jika dilihat di
Indonesia, tujuan dari partai politik ini akan mengkerucut menjadi dua bagian
yaitu akan berpartisipasi dalam sektor pemerintahan dengan mendukung
program-program pemerintah (pro pemerintah) ataukah akan menjadi partai oposisi
(melakukan fungsi pengawasan pada pemerintah). Sistem kepartaian di Indonesia
yang multipartai pada akhirnya menjadi dua kubu besar seperti di atas. Hal
tersebut sangat terasa apalagi pada saat ini, pasca pemilu 2009. Partai
Demokrat sebagai partai pemenang pemilu legislatif berhasil menggandeng
sebagian besar partai peserta pemilu untuk berkoalisi bersama membangun
pemerintahan kedepan. Partai-partai yang berkoalisi dengan Demokrat akan
bersikap pro pemerintah pada lima tahun kedepan. Sedangkan PDIP akan berperan
sebagai oposisi yang akan menjalankan fungsi kontrol politik pada setiap kebijakan yang akan
dikeluarkan pemerintah. Yang menjadi pertanyaan awal dari pemaparan diatas
adalah apakah PDIP sanggup menjaga konsistensi mereka ditengah kartelisasi
partai politik saat ini? Tak banyak partai yang secara tegas memposisikan
dirinya sebagai partai oposisi. Karena sekarang, koalisi partai pemerintah
begitu kuat dan mengantongi suara yang lebih legitimate dari PDIP karena suara
rakyat lebih besar dimiliki mereka. Hal yang bisa membuktikan apakah kosistensi
PDIP sebagai oposisi layak diperhitungakan atau tidak adalah dari aktivitas
politik mereka. Namun penulis dalam pemaparan kali ini lebih menilai bahwa PDIP
hanyalah bersifat oposisi semu.
Sekarang
sudah zaman otonomi daerah. Artinya
sekarang pemerintah-pemerintah daerah diseluruh indonesia mempunyai hak yang
luas untuk membangun daerahnya sesuai dengan identitas kedaerahan dan Oposisi
PDIP hanya dipusat, tetapi di Daerah banyak yang menjadi kepala daerah. Klaim PDIP sebagai partai yang paling banyak memenangkan
Pilkada malah membuat citra PDIP sebagai partai oposisi menurun. Hal ini
mengindikasikan bahwa PDIP menjadi oposisi hanya dalam taraf pusat saja.
Apalagi dalam berbagai Pilkada PDIP malah berkoalisi dengan partai yang menjadi
“musuhnya” dipusat.
Ditengah
maraknya ideologi neo liberal diberbagai lini pemerintahan, PDIP tetap memegang
teguh sebagai partai berbasis nasionalis dan partai wong cilik sebagai jargon oposisinya. Konsistensi PDIP dalam posisi oposisi bukan hanya pada
posisi dia dalam pemerintahan namun dalam mempertahankan ideologi mereka. Pendekatan
Polarisasi ideologi parrai poltik dikembangkan oleh ilmuwan politik Italia,
Giovani Sartori (1976), sistem kepartaian tidak digolongkan menurut jumlah
partai atau unit-unit melainkan jarak ideologi antara partai-partai yang ada
dan didasarkan pada tiga hal, yaitu jumlah kutub (polar), jarak di antara kutub
(bipolar) dan arah perilaku politiknya. Sartori juga mengklasifikasikan sistem
kepartaian menjadi tiga, yaitu pluralisme sederhana, moderat dan ekstrem. Berikut
adalah petikan Visi yang tertuang dalam profil PDIP yang menunjukkan sisi nasionalis
partai :
“BAHWA sesungguhnya cita-cita luhur untuk membangun dan mewujudkan
Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, demokratis, adil dan makmur serta
beradab dan berketuhanan sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945
adalah merupakan cita-cita bersama dari seluruh rakyat Indonesia.
Perwujudan cita-cita bersama tersebut menuntut keterlibatan semua kekuatan
bangsa, baik secara individual maupun secara kolektif, sekaligus merupakan hak
dan tanggung jawab seluruh rakyat. PDI Perjuangan sebagai wadah dan alat
perjuangan serta kekuatan politik rakyat berasaskan Pancasila sebagaimana
termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sesuai jiwa dan semangat lahirnya pada 1 Juni 1945.
Di dalam perwujudannya, PDI Perjuangan mempunyai jati diri kebangsaan,
kerakyatan, dan keadilan sosial dengan watak demokratis, merdeka, pantang
menyerah, dan terbuka yang seluruhnya merupakan modal perjuangan untuk
membangun bangsa dan karakter bangsa serta menggerakkan kekuatan dan
memperjuangan aspirasi rakyat menjadi kebijakan negara.
Untuk itu PDI Perjuangan mempunyai tugas mempertahankan dan mewujudkan
cita-cita Negara Proklamasi 17 Agustus 1945, melaksanakan Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
serta mempersiapkan kader Bangsa.
Oleh karena itu, melalui kekuatan dan kekuasaan politik yang senantiasa
akan diperjuangkan, PDI Perjuangan bertekad untuk mewujudkan kehidupan
kebangsaan yang bebas, merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia.”(PDIPcabangmaya.blogspot.com)
Banyak
pakar yang menyayangkan kebijakan privatisasi BUMN pada saat megawati berkuasa,
kemudian penandatangan CAFTA(China Asean
Free Trade Area). Bukankah hal tersebut sangat kental dengan nilai-nilai
ideologi kapitalisme dan neo liberalisme? Padahal salah satu propaganda PDIP
dalam mempertegas sifat oposisi PDIP saat ini adalah menolak segala bentuk
langkah-langkah yang cenderung memakai logika liberal dan harus berpihak pada wong cilik, namun langkah-langkah yang
dilakukan PDIP dalam masa ia berkuasa bertolak dengan nilai-nilai yang
diperjuangkan.
Permasalahan
tentang sifat oposisi yang dipertahankan oleh PDIP tidak selesai hanya dengan
mengatakan secara normatif
saja. Dalam tubuh patai ini, ada perbedaan pendapat mengenai pilihan oposisi
yang diperdebatkan oleh para kolegial kepemimpinan kulturalpartai. Puan
Maharani dan Megawati menegaskan bahwa PDIP adalah partai oposisi. Namun Taufik
Kiemas dan Guruh Soekarno Putra menyatakan sebaliknya. Hal tersebut sangat
terlihat jelas ketika kongres PDIP di bali pada april laua. Bahkan sebelum
kongres dimulai, situasi politik di internal PDIP sudah memanas saja. Bahkan dua
anak ketua umum PDIP Megawati, Puan Maharani dan Prananda Prabowo bersimpangan
jalan soal bagaimana sebaiknya PDIP ke depan, apakah tetap menjadi oposisi atau
tidak. Bahkan sekarang Taufik Kiemas sudah duduk menjadi kolega SBY di sistem
pemerintahan sebagai Ketua MPR. Harus diakui
kekuasaan selalu didambakan oleh semua partai, termasuk
PDIP, kenyataan itu barangkali yang dirasakan betul PDIP saat ini. Setelah
merasakan menjadi partai oposisi selama periode kepemimpinan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, 2004-2009, dan 2009-sekarang, PDIP merindukan kembali kekuasaan
yang pernah dikecapnya selama periode 1999-2004. Mungkin hal tersebut yang
menjadi salah satu permasalahan perbedaan pendapat dikalangan internal partai.
Ketua
Dewan Pertimbangan Pusat PDI Perjuangan, Taufiq Kiemas mengungkapkan bahwa,
jika dia diwawancara terkait oposisi oleh berbagai media, dia selalu menjawab
bahwa berdasarkan UUD 1945, maka sesungguhnya dalam sistem kepartaian tidak
dikenal yang namanya oposisi. Keinginan Taufiq Kiemas untuk berkoalisi dengan
Demokrat terbukti dengan adanya tawaran posisi ketua MPR dari partai demokrat
terhadap dirinya dan ia menerimanya begitu saja. Hal tersebut jelas sangat
kontradiktif dengan sifat oposisi yang seharusnya berada diluar sistem
pemerintahan, namun PDIP sekarang malah duduk disalah satu tampuk kekuasaan
sistem pemerintahan. Posisi Taufik Kiemas malah menjadikan PDIP sebagai oposisi
semu di peta politik Indonesia.
Ketika
SBY-Boediono sedang menggodok nama - nama anggota kabinetnya, suami Ketua Umum
PDIP Megawati itu juga bermanuver untuk bisa masuk ke koalisi. Taufik Kiemas
beberapa kali memberikan lampu hijau kepada PDIP untuk bergabung ke Demokrat.
Tokoh senior tersebut juga berkali-kali bertemu SBY, bahkan muncul isu bahwa
PDIP bakal mendapatkan jatah enam kursi menteri atau pejabat setingkat menteri
bila mengubah haluan dari oposisi ke koalisi. Padahal sudah jelas sekali,
Megawati sebagai Ketua Umum partai benar-benar “membenci” SBY dan sama sekali
tidak ingin berkoalisi. Kenyataan tersebut menegaskan bahwa menjadi oposisi
memang tidak menyenangkan, setidaknya bagi Taufik Kiemas. Jauh lebih
menggembirakan menjadi bagian (kecil) dari kekuasaan ketimbang harus menjadi
pemain utama oposisi. Karena itu, secara terang - terangan dia terus
mewacanakan kemungkinan masuk barisan koalisi. Mungkin Taufik Kiemas sadar
betul bahwa dalam demokrasi modern, sebuah kekuatan politik berbanding lurus
dengan kekuatan finansial. Dan kekuatan finansial itu bisa dilipatgandakan
ketika memiliki kekuatan kekuasaan.
Ditengah
perselisihan ditubuh partai, Guruh Soekarno Putra mendukung kakak iparnya
tersebut. Seperti yang dilansir kompas.com
5/4 2010 lalu, menurut dia, melihat perkembangan suara PDIP yang terus turun
dalam dua pemilu terakhir, peluang PDIP untuk masuk pemerintahan sangat kecil.
Kecuali, PDIP mau berkoalisi dengan pemenang pemilu (Partai Demokrat). Namun
suara-suara elit partai tetap masih bertolak belakang dengan suara grassroot yang
masih solid menginginkan PDIP untuk beroposisi.
Pemaparan
diatas sungguh menujukkan bahwa kualitas oposisi di Indonesia melalui PDIP
sangat rendah. PDIP belum bisa sepenuhnya menjadi partai yang betul-betul
oposisi sejati. Karena masih memperhitungkan pragmatisme dengan logika-logika
penguasa yang selalu ingin menguntungkan pihak sendiri.
Kesimpulan
Penguasa, bagaimanapun dan secara umum kita semua setuju,
harus diawasi. Itulah mengapa oposisi perlu dilembagakan. Pangkal tolaknya
adalah cara pandang yang negatif terhadap kekuasaan. Bahwa, setiap rezim yang
memerintah, setidaknya punya tendensi pada tiga hal. Pertama, kecenderungan untuk
memperkuat dan memperbesar dirinya. Tujuannya adalah untuk menjaga dan
mempertahankan kekuasaan. Koalisi adalah jalan yang tersedia untuk itu.
Kedua,
setiap pemerintahan cenderung ingin memusatkan kekuasaan di tangannya. Presiden
Soekarno dan Soeharto mengupayakannya melalui akumulasi semua
kekuasaan--legislatif, yudikatif, dan eksekutif di tangannya. Terjadilah
kemudian personalisasi kekuasaanyang melahirkan otoritarianisme. Ketiga,
seperti terbukti dalam sejarah, setiap kekuasaan cenderung korup, menyeleweng,
dan semena-mena. Pendeknya, setiap penguasa berpotensimenjadi tiran dan
penindas bagi rakyatnya, terutama dengan kekuasaan yang terlampau besar di
tangannya. Karena kecenderungan-kecenderungan seperti itulah, sebuah oposisi
yang terlembaga diperlukan bagi pemerintahan baru ke depan. Urgensi oposisi tak
hanya terletak pada fungsinya bagi mekanisme
check and balances , melainkan juga pada perannya dalam melakukan kritik
kepada kekuasaan.
Ignas
Kleden, dalam Menulis Politik: Indonesia
sebagai Utopia (2001) melihat fungsi kritik itu dalam dua aspek: memperingatkan
pemerintah terhadap kemungkinan salah kebijakan atau salah tindakan ( sin of commission ) dan menunjukkan apa
yang harus dilakukan pemerintah, tetapi justru tidak dilakukannya ( sin of comission
). Tentu saja, tak dapat dinafikan bahwa
realitas politik Indonesia mutakhir belum menjadi lahan subur bagi tumbuhnya
oposisi. Kekuatan oposisi riil belum terbangun. Yang muncul baru oposisi
normatif, belum oposisi kritis.
Namun,
kesetiaan PDIP menjadi oposisi dalam sepuluh tahun terakhir layak diapresiasi.
Tradisi yang sudah mulai dibangun itu harus dilanjutkan dan dioptimalkan, bukan
dihapuskan. Dan, itu hanya mungkin melalui kesediaan partai-partai politik
untuk tak hanyamenjadi penikmat kekuasaan, tapi juga pengontrol dan
pengkritiknya. Walaupun bisa dikatakan bahwa PDIP adalah oposisi semu.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
:
·
Dr. Rian Nugroho,
Public Policy, 2009
INTERNET
:
·
kompas.com
·
pdipcabangmaya.blogspot.com
·
inilah.com
·
antaranews.com