Selasa, 30 Oktober 2012

Jurnal Ilmiah POSITIONING PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN SEBAGAI PARTAI OPOSISI Melihat transisi demokrasi dan peta politik di indonesia

Introduction
Boleh dikatakan hari ini merupakan Puncak kejayaan demokrasi indonesia. Bagaimana tidak, pemilihan umum selalu terjadi trjadi dengan gegap gempitanya, Bila ukuran di tenteukan oleh proses pemilihan umum, maka tidak heran bila indonesia sedang mengalami yang namanya eforia demokrasi. Ini bisa dilihat dari kontestasi pemiliahan daerah tiap 5 tahunanya, yang mana wilayah indonesia terdapat 450 kabupaten/ kota dari 33 provinsi, sehingga bila dihitung secara keseluruhan ada 483 PILKADA dalam waktu 5 tahun tersebut. Dari segi sistemnya indonesia telah berupaya untuk menyelenggarakan demokrasi dengan sebaik-baiknya melalui UU pemilu yang hampir tiap tahunya terdapat perubahan,dan berharap akan tercipta pemerintahan yang kuat dan legitimate.
 Salah satu elemen yang terlibat langsung dalam demokratisasi di Indonesia ialah partai politik. Melalui kontestasi pesta demokrasi inilah  partai-partai politik bersaing untuk mewujudkan cita citanya dan eksistensinya dalam kancah perpolitikan Indonesia. Dalam arti sempit, pemilihan umum merupakan proses konversi suara rakyat yang berhak menjadi kursi penyelenggara negara lembaga legislatif ataupun eksekutif, baik tingkat nasional maupun daerah. Dapat dikatakan bahwa pemilihan umum merupakan sarana untuk tetap menyelenggarakan suatu sistem kenegaraan yang bersumber dari rakyat suatu bangsa demi tercapainya tujuan penyelenggaraan agenda negara. yang pada ahirnya akan terlahir penguasa pengusa beru dalam dinamika politik indonesia, yang mana suplayernya adalah partai politik. Disisi lain, pergantian rezim kekuasaan di Indonesia mewarnai sejarah panjang bangsa ini dalam perjalanannya menuju sebuah Negara yang demokratis,Dari mulai zaman penajajahan, orde lama, orde baru hingga sampai pada masa reformasi saat ini. Sebuah rezim yang dipimpin oleh seorang yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda ikut mengisi perjalanan bangsa ini.

Patologi Sistem Pemilu dan Partai
Sistem politik Indonesia telah menempatkan partai politik sebagai pilar utama penyangga demokrasi. Yang mana seharusnya pilar penyangga tersebut merupakan pilar yang kuat sehingga demokrasi berdiri tanpa cacat. Namun yang terjadi sekarang adalah pilar tersebut beradu kuat dengan tiang penyangga yang lain untuk menunjukkan siapa yang paling kuat. Sehingga rentan menimbulkan konflik politik antar masyarakat.  Proses pemilu sebagai buah dari sistem kepartaian pun tak luput dari intrik dan konflik. Kekuatan-kekuatan politik saling bermunculan dengan afiliasi dan motivasi ideologi yang berbeda-beda serta menganggap dirinya kuat dan sanggup mematahkan usaha-usaha kelompok yang kontra dengannya. Susasana mencekam pasti mengiringi tiap periode pemilu di Negara ini. Arogansi kekuatan politik yang ada sangat sangat kental dalam tiap-tiap proses pemilu dan jalannya pemerintahan indonesia. Sehingga banyak pakar yang berpendapat bahwa sistem pemilu maupun sistem kepartaian di Indonesia belum menemukan bentuk ideal. Dan demokrasi saat ini hanya dijadikan alat prosedural demokrasi dan alat legitimasi pemerintah saja.
Sebagai ilustrasi kekuatan politik, dicontohkan pada masa rezim orde baru, yakni berkuasanya Soeharto dengan Golkar-nya sebagai bentuk superpower Negara dalam bidang politik. Pada zaman orde baru pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu. Sungguh kekuatan politik yang sangat luar biasa pada saat itu.  Perubahan sistem pemilu dan sistem kepartaian juga mewarnai proses demokrasi di Indonesia, sehingga menimbulkan pemetaan kekuatan politik yang selalu berubah-ubah. Pada saat ini, kekuatan politik yang sedang berkuasa adalah Partai Demokrat beserta koalisinya, namun adapula beberapa partai yang memposisikan dirinya sebagai oposisi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) misalnya. Dalam sebuah pemerintahan Negara yang menganut sistem demokrasi, tentu kompetisi antar partai politik sebagai kekuatan politik resmi sudah menjadi hal biasa. Saling bersaing secara mutu, program, ideologi, finansial, kekompakan dan sebagainya. Hal itu wajar, karena dalam demokrasi dituntut ada rasa kompetitif antara kekuatan politik satu dengan yang lainnya. demokrasi pasti ada kekuatan politik. Seperti halnya persaingan antara kekuatan politik yang sedang berkuasa dan kekuatan politik diluar sistem pemerintahan atau seringkali disebut partai oposisi. Begitulah gambaran nyata tentang kekuatan politik.
            Salah satu area of concern di bidang pemerintahan suatu Negara adalah terletak pada sistem kepartaian. Karena partai politik melalui sarana pemilihan umum di negara (Indonesia) adalah pemasok utama legislator atau wakil rakyat. Dalam pemilihan umum tentu tidak terlepas adanya sistem kepartaian yang dianut oleh suatu Negara demokratis. Lebih fokus tulisan ini akan mencoba menguraikan persaingan antar kekuatan politik dalam sistem kepartaian di Indonesia. Namun demikian, perkembangan persaingan antar kekuatan politik di Indonesia memiliki perbedaan dengan persaingan antar kekuatan politik dinegara lain. Sistem multipartai di Indonesia pada realitasnya memiliki variasi jumlah partai dan karakteristik dari demokrasi macam apa yang diterapkan dalam sistem politiknya. Dari variasi jumlah partai tersebut, tercipta tembok-tembok pemisah antara kekuatan yang sedang berkuasa dan kekuatan oposisi sebagai “lawan” dari partai penguasa tersebut.
Dalam sistem multipartai atau banyak partai di Indonesia, secara umum ada pemilahan jenis partai politik yang ada dalam peta politik nasional, yakni ada yang berkuasa dan ada yang menjadi oposisi. Partai yang berkuasa adalah kekuatan politik yang memenagkan pemilu dan sekarang yang menjadi pemangku jabatan ekskutif dan menguasai sebagian besar kursi parlemen. Sedangkan partai oposisi adalah mereka yang berada diluar sistem pemerintahan, dan menjadi pesaing dari kekuatan politik yang sedang berkuasa. Dua kutub kekuatan besar ini kan selalu ada seiring dengan jalannya pemerintahan.  Di Indonesia, posisi oposisi tidak populer dimata masyarakat. Karena perilaku partai politik di Indonesia cenderung bekerjasama sehingga saling memberikan insentif kepada masing-masing partai. Meski begitu, ada partai yang keukeuh yang memilih untuk menjadi oposisi, yakni PDIP. PDIP memposisikan dirinya sebagai Partai oposisi di Indonesia
Di Indonesia kompetisi dan perilaku antar kekuatan politik (Parpol) menarik untuk dicermati. Karena situasi politik di Negara kita sangat mudah berubah, hal itu terjadi karena jumlah partai dan ideologi yang sangat banyak. Sehingga sangat sulit untuk bisa memprediksi apa yang akan terjadi dikemudian hari dalam perpolitikan Negara kita. Terkait tentang oposisi, maka tulisan ini akan membahas tentang PDIP sebagai partai oposisi di Indonesia dan konsistensi PDIP sebagai partai oposisi. Bagaimana langkah-langkah PDIP dan apa yang dilakukan PDIP selama menjadi partai oposisi akan dianalisis dalam tulisan ini

 Dilema PDIP Dalam Pemerintahan Di Indonesia

Tanda-tanda musnahnya kekuatan oposisi dalam pemerintahan baru mendatang makin terang. Kemenangan Aburizal Bakrie dalam Musyawarah Nasional VIII Partai Golkar menjadikan merapatnya Golkar ke kubu Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono. Selain memiliki kedekatan dengan SBY, Aburizal Bakrie dalam sambutannya setelah terpilih menjadi ketua umum Partai Golkar menyatakan mempersilakan kader Golkar bergabung dengan kabinet mendatang jika diminta oleh presiden terpilih.Dan hal itu terjadi pada era kabinet jilid II rezim SBY.
Hilangnya Golkar sebagai partai oposisi menjadikan PDIP adalah satu-satunya partai besar yang sekarang berada dalam kubu oposisi. Namun terpilihnya Taufik Kiemas sebagai ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan dukungan politik Partai Demokrat dan koalisinya di Senayan membuat PDIP dinilai tidak tegas sebagai oposisi. Bergabungnya Golkar dengan rezim berkuasa akan menutup pintu bagi hadirnya oposisi yang kuat dalam pemerintahan lima tahun ke depan. Bahaya akan matinya oposisi adalah ancaman bagi pengawasan dan keseimbangan (check and balances) yang lazimnya ada dalam setiap pemerintahan demokratis. Tiadanya kontrol eksternal itu, menurut ilmuwan politik Robert A Dahl, akan membuka jalan bagi lahirnya pemerintahan yang  tiranik.
Kontrol politik merupakan salah satu fungsi utama yang dimiliki oposisi di dalam ranah politik. Banyak pihak yang setuju dan mengutarakan bahwa oposisi adalah hal yang sangat penting dalam berpolitik. Kekuatan politik yang dimiliki oleh partai oposisi ini dimiliki di luar lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, karen secara umum, peran oposisi adalah sebagai kontrol, dengan melakukan kontrol yang luas luas apabila ketiga lembaga lainnya melakukan penyelewengan dalam kewajibannya. Hal diatas adalah sebuah pernyataan yang sebetulnya masih perlu dipertanggungjawabkan lebih jauh. Di dalam memaknai sebuah oposisi, secara sekilas diperlukan batasan. Oposisi seperti apa yang masih bisa dikategorikan untuk memegang peranan tersebut? Hal ini seolah menjadi dilematis karena oposisi diharapkan bisa menjadi pihak yang dinggap tidak memihak, namun di sisi lain mereka merupakan aktor utama yang paling mempunyai akses utama sebagai penekan pemerintah. Dengan kata lain, mereka adalah pihak yang sangat berpotensi untuk memeiliki andil besar di dalam pergeseran peta kekuatan politik di sebuah negara, dalam hal ini Indonesia. Oposisi yang bebas dapat menjadi katalisator demokrasi di sebuah negara, di sisi lain juga ‘bebas’ untuk memilih kecenderungan mereka untuk menentukan ke arah mana aktifitas politik mereka akan ditampilkan.
Namun sesungguhnya Oposisi bukan budaya politik di Indonesia. Karena negara ini bukanlah penganut sistem parlementer sepenuhnya tetapi negara dengan sistem semi presidensial. Yang lebih berorientasi dengan kestabilan demokrasi di negaranya. Maka dari itu, aktivitas partai politik cenderung berkoalisi dengan kekuatan partai yang lebih kuat sehingga posisi mereka dalam sistem politik negara akan cenderung aman. Berbicara tentang koalisi pemerintahan di Indonesia,sesungguhnya pola ini bukan hal yang baru di negeri ini. Pada awal kemerdekaan, ketika pemerintahan menganut sistem parlementer, kabinet yang terbentuk merupakan hasil koalisi antara partai-partai di parlemen saat itu.
Dalam ilmu politik, secara garis besar koalisi dikelompokkan atas dua. Pertama, policy blind coalition, yaitu koalisi yang tidak didasarkan atas pertimbangan kebijakan, tetapi untuk memaksimalkan kekuasaan (office seeking). Kedua, policy-based coalition, yaitu koalisi berdasarkan pada preferensi tujuan kebijakan yang hendak direalisasi (policy seeking). Kecenderungan yang terjadi dalam era Reformasi ini, format koalisi yang dibangun adalah bentuk yang pertama. Koalisi tidak berdasarkan pertimbangan kebijakan, melainkan hanya untuk meraih kekuasaan. Koalisi yang dibentuk lebih didasarkan pada pragmatisme politik. Memang ada sisi positif dalam koalisi yang selama ini dibentuk, yakni runtuhnya ”sekat-sekat ideologis”. Koalisi seperti ini merupakan bentuk koalisi pragmatis dan jangka pendek. Mereka bergabung hanya untuk kepentingan kekuasaan ansich. Dengan fondasi seperti ini, tidak aneh bila di antara pendukung koalisi itu sendiri terjadi perbedaan pandangan dalam mengusung suatu kebijakan.
            Kondisi diatas menciptakan keadaan dilematis bagi PDIP. Karena dari tahun ke tahun partai ini selalu meneriakkan bahwa PDIP adalah partai oposisi. Yang mana partai oposisi adalah partai yang kontra dengan pemerintah atau lawan dari kekuatan politik yang sedang berkuasa.  Hal tersebut ditambah dengan besarnya koalisi yang dibentuk partai pemenang. Kekuatan politik yang berkuasa sangat kuat sedangakan PDIP cenderung berjalan sendiri sebagai oposisi.

Melihat ke-Istiqomahan PDIP Sebagai Partai Oposisi
Rusadi Kantaprawira mengemukakan bahwa aktivitas yang dilakukan partai politik pada umumnya mengandung tujuan antara lain: Berpartisipasi dalam sektor pemerintahan, berusaha melakukan pengawasan, dan berperan untuk dapat memadu tuntutan-tuntutan yang masih mentah (Hestu C. Handoyo:2003). Jika dilihat di Indonesia, tujuan dari partai politik ini akan mengkerucut menjadi dua bagian yaitu akan berpartisipasi dalam sektor pemerintahan dengan mendukung program-program pemerintah (pro pemerintah) ataukah akan menjadi partai oposisi (melakukan fungsi pengawasan pada pemerintah). Sistem kepartaian di Indonesia yang multipartai pada akhirnya menjadi dua kubu besar seperti di atas. Hal tersebut sangat terasa apalagi pada saat ini, pasca pemilu 2009. Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu legislatif berhasil menggandeng sebagian besar partai peserta pemilu untuk berkoalisi bersama membangun pemerintahan kedepan. Partai-partai yang berkoalisi dengan Demokrat akan bersikap pro pemerintah pada lima tahun kedepan. Sedangkan PDIP akan berperan sebagai oposisi yang akan menjalankan fungsi kontrol politik pada setiap kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah. Yang menjadi pertanyaan awal dari pemaparan diatas adalah apakah PDIP sanggup menjaga konsistensi mereka ditengah kartelisasi partai politik saat ini? Tak banyak partai yang secara tegas memposisikan dirinya sebagai partai oposisi. Karena sekarang, koalisi partai pemerintah begitu kuat dan mengantongi suara yang lebih legitimate dari PDIP karena suara rakyat lebih besar dimiliki mereka. Hal yang bisa membuktikan apakah kosistensi PDIP sebagai oposisi layak diperhitungakan atau tidak adalah dari aktivitas politik mereka. Namun penulis dalam pemaparan kali ini lebih menilai bahwa PDIP hanyalah bersifat oposisi semu. 
Sekarang sudah zaman otonomi daerah. Artinya sekarang pemerintah-pemerintah daerah diseluruh indonesia mempunyai hak yang luas untuk membangun daerahnya sesuai dengan identitas kedaerahan dan Oposisi PDIP hanya dipusat, tetapi di Daerah banyak yang menjadi kepala daerah. Klaim PDIP sebagai partai yang paling banyak memenangkan Pilkada malah membuat citra PDIP sebagai partai oposisi menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa PDIP menjadi oposisi hanya dalam taraf pusat saja. Apalagi dalam berbagai Pilkada PDIP malah berkoalisi dengan partai yang menjadi “musuhnya” dipusat.
Ditengah maraknya ideologi neo liberal diberbagai lini pemerintahan, PDIP tetap memegang teguh sebagai partai berbasis nasionalis dan partai wong cilik sebagai jargon oposisinya. Konsistensi PDIP dalam posisi oposisi bukan hanya pada posisi dia dalam pemerintahan namun dalam mempertahankan ideologi mereka. Pendekatan Polarisasi ideologi parrai poltik dikembangkan oleh ilmuwan politik Italia, Giovani Sartori (1976), sistem kepartaian tidak digolongkan menurut jumlah partai atau unit-unit melainkan jarak ideologi antara partai-partai yang ada dan didasarkan pada tiga hal, yaitu jumlah kutub (polar), jarak di antara kutub (bipolar) dan arah perilaku politiknya. Sartori juga mengklasifikasikan sistem kepartaian menjadi tiga, yaitu pluralisme sederhana, moderat dan ekstrem. Berikut adalah petikan Visi yang tertuang dalam profil PDIP yang menunjukkan sisi nasionalis partai :
“BAHWA sesungguhnya cita-cita luhur untuk membangun dan mewujudkan Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, demokratis, adil dan makmur serta beradab dan berketuhanan sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945 adalah merupakan cita-cita bersama dari seluruh rakyat Indonesia.
Perwujudan cita-cita bersama tersebut menuntut keterlibatan semua kekuatan bangsa, baik secara individual maupun secara kolektif, sekaligus merupakan hak dan tanggung jawab seluruh rakyat. PDI Perjuangan sebagai wadah dan alat perjuangan serta kekuatan politik rakyat berasaskan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai jiwa dan semangat lahirnya pada 1 Juni 1945.
Di dalam perwujudannya, PDI Perjuangan mempunyai jati diri kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial dengan watak demokratis, merdeka, pantang menyerah, dan terbuka yang seluruhnya merupakan modal perjuangan untuk membangun bangsa dan karakter bangsa serta menggerakkan kekuatan dan memperjuangan aspirasi rakyat menjadi kebijakan negara.
Untuk itu PDI Perjuangan mempunyai tugas mempertahankan dan mewujudkan cita-cita Negara Proklamasi 17 Agustus 1945, melaksanakan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta mempersiapkan kader Bangsa.
Oleh karena itu, melalui kekuatan dan kekuasaan politik yang senantiasa akan diperjuangkan, PDI Perjuangan bertekad untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang bebas, merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.”(PDIPcabangmaya.blogspot.com)
Banyak pakar yang menyayangkan kebijakan privatisasi BUMN pada saat megawati berkuasa, kemudian penandatangan CAFTA(China Asean Free Trade Area). Bukankah hal tersebut sangat kental dengan nilai-nilai ideologi kapitalisme dan neo liberalisme? Padahal salah satu propaganda PDIP dalam mempertegas sifat oposisi PDIP saat ini adalah menolak segala bentuk langkah-langkah yang cenderung memakai logika liberal dan harus berpihak pada wong cilik, namun langkah-langkah yang dilakukan PDIP dalam masa ia berkuasa bertolak dengan nilai-nilai yang diperjuangkan.
Permasalahan tentang sifat oposisi yang dipertahankan oleh PDIP tidak selesai hanya dengan mengatakan secara normatif saja. Dalam tubuh patai ini, ada perbedaan pendapat mengenai pilihan oposisi yang diperdebatkan oleh para kolegial kepemimpinan kulturalpartai. Puan Maharani dan Megawati menegaskan bahwa PDIP adalah partai oposisi. Namun Taufik Kiemas dan Guruh Soekarno Putra menyatakan sebaliknya. Hal tersebut sangat terlihat jelas ketika kongres PDIP di bali pada april laua. Bahkan sebelum kongres dimulai, situasi politik di internal PDIP sudah memanas saja. Bahkan dua anak ketua umum PDIP Megawati, Puan Maharani dan Prananda Prabowo bersimpangan jalan soal bagaimana sebaiknya PDIP ke depan, apakah tetap menjadi oposisi atau tidak. Bahkan sekarang Taufik Kiemas sudah duduk menjadi kolega SBY di sistem pemerintahan sebagai Ketua MPR. Harus diakui kekuasaan selalu didambakan oleh semua partai, termasuk PDIP, kenyataan itu barangkali yang dirasakan betul PDIP saat ini. Setelah merasakan menjadi partai oposisi selama periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 2004-2009, dan 2009-sekarang, PDIP merindukan kembali kekuasaan yang pernah dikecapnya selama periode 1999-2004. Mungkin hal tersebut yang menjadi salah satu permasalahan perbedaan pendapat dikalangan internal partai.
Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI Perjuangan, Taufiq Kiemas mengungkapkan bahwa, jika dia diwawancara terkait oposisi oleh berbagai media, dia selalu menjawab bahwa berdasarkan UUD 1945, maka sesungguhnya dalam sistem kepartaian tidak dikenal yang namanya oposisi. Keinginan Taufiq Kiemas untuk berkoalisi dengan Demokrat terbukti dengan adanya tawaran posisi ketua MPR dari partai demokrat terhadap dirinya dan ia menerimanya begitu saja. Hal tersebut jelas sangat kontradiktif dengan sifat oposisi yang seharusnya berada diluar sistem pemerintahan, namun PDIP sekarang malah duduk disalah satu tampuk kekuasaan sistem pemerintahan. Posisi Taufik Kiemas malah menjadikan PDIP sebagai oposisi semu di peta politik Indonesia.
Ketika SBY-Boediono sedang menggodok nama - nama anggota kabinetnya, suami Ketua Umum PDIP Megawati itu juga bermanuver untuk bisa masuk ke koalisi. Taufik Kiemas beberapa kali memberikan lampu hijau kepada PDIP untuk bergabung ke Demokrat. Tokoh senior tersebut juga berkali-kali bertemu SBY, bahkan muncul isu bahwa PDIP bakal mendapatkan jatah enam kursi menteri atau pejabat setingkat menteri bila mengubah haluan dari oposisi ke koalisi. Padahal sudah jelas sekali, Megawati sebagai Ketua Umum partai benar-benar “membenci” SBY dan sama sekali tidak ingin berkoalisi. Kenyataan tersebut menegaskan bahwa menjadi oposisi memang tidak menyenangkan, setidaknya bagi Taufik Kiemas. Jauh lebih menggembirakan menjadi bagian (kecil) dari kekuasaan ketimbang harus menjadi pemain utama oposisi. Karena itu, secara terang - terangan dia terus mewacanakan kemungkinan masuk barisan koalisi. Mungkin Taufik Kiemas sadar betul bahwa dalam demokrasi modern, sebuah kekuatan politik berbanding lurus dengan kekuatan finansial. Dan kekuatan finansial itu bisa dilipatgandakan ketika memiliki kekuatan kekuasaan.
Ditengah perselisihan ditubuh partai, Guruh Soekarno Putra mendukung kakak iparnya tersebut. Seperti yang dilansir kompas.com 5/4 2010 lalu, menurut dia, melihat perkembangan suara PDIP yang terus turun dalam dua pemilu terakhir, peluang PDIP untuk masuk pemerintahan sangat kecil. Kecuali, PDIP mau berkoalisi dengan pemenang pemilu (Partai Demokrat). Namun suara-suara elit partai tetap masih bertolak belakang dengan suara grassroot yang masih solid menginginkan PDIP untuk beroposisi.
Pemaparan diatas sungguh menujukkan bahwa kualitas oposisi di Indonesia melalui PDIP sangat rendah. PDIP belum bisa sepenuhnya menjadi partai yang betul-betul oposisi sejati. Karena masih memperhitungkan pragmatisme dengan logika-logika penguasa yang selalu ingin menguntungkan pihak sendiri.
Kesimpulan
            Penguasa, bagaimanapun dan secara umum kita semua setuju, harus diawasi. Itulah mengapa oposisi perlu dilembagakan. Pangkal tolaknya adalah cara pandang yang negatif terhadap kekuasaan. Bahwa, setiap rezim yang memerintah, setidaknya punya tendensi pada tiga hal. Pertama, kecenderungan untuk memperkuat dan memperbesar dirinya. Tujuannya adalah untuk menjaga dan mempertahankan kekuasaan. Koalisi adalah jalan yang tersedia untuk itu.
Kedua, setiap pemerintahan cenderung ingin memusatkan kekuasaan di tangannya. Presiden Soekarno dan Soeharto mengupayakannya melalui akumulasi semua kekuasaan--legislatif, yudikatif, dan eksekutif di tangannya. Terjadilah kemudian personalisasi kekuasaanyang melahirkan otoritarianisme. Ketiga, seperti terbukti dalam sejarah, setiap kekuasaan cenderung korup, menyeleweng, dan semena-mena. Pendeknya, setiap penguasa berpotensimenjadi tiran dan penindas bagi rakyatnya, terutama dengan kekuasaan yang terlampau besar di tangannya. Karena kecenderungan-kecenderungan seperti itulah, sebuah oposisi yang terlembaga diperlukan bagi pemerintahan baru ke depan. Urgensi oposisi tak hanya terletak pada fungsinya bagi mekanisme  check and balances , melainkan juga pada perannya dalam melakukan kritik kepada kekuasaan.
Ignas Kleden, dalam  Menulis Politik: Indonesia sebagai Utopia (2001) melihat fungsi kritik itu dalam dua aspek: memperingatkan pemerintah terhadap kemungkinan salah kebijakan atau salah tindakan ( sin of commission ) dan menunjukkan apa yang harus dilakukan pemerintah, tetapi justru tidak dilakukannya ( sin of comission ).  Tentu saja, tak dapat dinafikan bahwa realitas politik Indonesia mutakhir belum menjadi lahan subur bagi tumbuhnya oposisi. Kekuatan oposisi riil belum terbangun. Yang muncul baru oposisi normatif, belum oposisi kritis.
Namun, kesetiaan PDIP menjadi oposisi dalam sepuluh tahun terakhir layak diapresiasi. Tradisi yang sudah mulai dibangun itu harus dilanjutkan dan dioptimalkan, bukan dihapuskan. Dan, itu hanya mungkin melalui kesediaan partai-partai politik untuk tak hanyamenjadi penikmat kekuasaan, tapi juga pengontrol dan pengkritiknya. Walaupun bisa dikatakan bahwa PDIP adalah oposisi semu.



DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
·         Dr. Rian Nugroho, Public Policy, 2009
INTERNET :
·         kompas.com
·         pdipcabangmaya.blogspot.com
·         inilah.com
·         antaranews.com
·         de_rechter_2007@blog.uns.ac.id



1 komentar: